Kenangan Kemarau di Kampung

"Look past your thoughts, so you may drink the pure nectar of This Moment". Rumi

Musim kemarau dalam memori saya waktu kecil adalah kekeringan dan kerja keras untuk menyiram tumbuhan di kebun. Sawah yang kerontang, irigasi yang mengering, angin yang bertiup kencang dan tentunya suhu yang panas. Terlebih saya kecil hidup di pesisir pantai, saya menyebutnya tetangga Australia.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah saya dibangunkan untuk segera mengambil air di kulah (sebuah kolam di depan surau untuk wudlu). Airnya sudah berwarna hijau karena lukut (tumbuhan yang tumbuh di sela-sela bebatuan biasanya licin kalau terinjak bisa membuat tergelincir) tetapi untuk menyiram tumbuhan rasanya bau lukut itu tidak masalah yang penting tumbuhan di kebun kami bisa minum. Dua ember saya jinjing. Kadang dengan mulut bersungut-sungut saya melaksanakan rutinitas pagi di musim kemarau tersebut. Pernah satu kali saat saya malas, saya menyiram tumbuhan daunnya saja yang terlihat basah, tanahnya tetap kering. Kasus ini jadi pelajaran karena ibuku mengetahui sampai beliau memarahi dan memberi tahu kalau menyiram itu sama dengan memberi makan bukan memandikan atau membasahi daun saja.

Saya menyiram setiap pagi sebelum berangkat sekolah, dalam hati saya berkata bahwa apa yang saya lakukan bisa membuat tanaman itu tumbuh dengan baik. Kemudian ia akan memberikan buah-buah pada kami. Tumbuhan yang baru ditanam itu terdiri dari Durian, Mangga, Sawo dan Rambutan. Kalau sedang bagus perasaannya, semua tanaman yang terlihat kering saya sirami sampai pagar pun saya sirami. Saya sangat sayang sekali pada tanaman tersebut, kasihan rasanya kalau mereka layu gara-gara kemarau. Saya menyiram dua kali sehari, pagi dan sore menjelang maghrib. Saya senang melakukannya, saya merasa memberi kehidupan ketika melihat tanaman tersebut tumbuh dengan baik. Indikatornya bagi saya sederhana, daunnya terlihat segar.

Kenangan Kemarau di Kampung (iden wildensyah)

Kemarau membuat desa kami kering, tetapi keceriaan anak-anak seusia saya waktu itu membuat kekeringan tidak terasa sebagai masalah. Saya bersyukur mengalami satu masa itu, masa yang kadang membuat saya merasa iri pada teman-teman yang bisa langsung bermain tanpa ada pertanyaan "sudah disiram belum tanaman?". Tanaman itu sekarang sudah besar, seiring waktu yang terus berpacu tanaman itu pun sedikit demi sedikit bisa dipetik buahnya. Ibu tidak pernah lupa menyimpan buah untuk saya.

Kemarau selalu identik dengan sore yang cerah dan malam yang terang benderang dikala purnama. Sore pada musim kemarau adalah saat yang menyenangkan, suhu menjadi sedang maksudnya tidak begitu panas juga tidak begitu dingin dari suhu maksimal pada siang hari sehingga banyak keceriaan yang muncul pada sore hari. Keceriaan di sore hari ini dimanfaatkan oleh anak-anak kecil untuk bermain ucing-ucingan, main layangan, susumputan dan juga keceng-kecengan bagi mereka yang sudah dewasa. Sore di musim kemarau oleh saya kecil pada waktu itu digunakan untuk bermain bersama teman-teman tentunya setelah menjawab pertanyaan ibu: ”sudah disiram belum tanamannya?” dengan jawaban sudah.

Sore yang cerah dan keceriaan anak-anak yang sedang bermain di lapangan membuat semarak kampung kami, kadang saya lupa waktu kalau sudah bermain. Rasanya saya ingin terus merasakan sore hari, saya tidak mau memasuki malam. Saya tidak mau ibu memanggil saya untuk segera kembali ke rumah untuk sholat berjamaah bersama bapak di surau.

Biasanya kami baru beranjak menuju rumah kalau sudah ditakuti dengan mahluk bernama ”Sanekala” yaitu mahluk yang suka mengambil anak-anak yang main kemaleman. Sanekala hanya ada dalam bayang saja, karena sampai sekarang saya belum tahu rupa dan wujudnya. Dalam bayangan saya sanekala bermuka seram dan bergigi tajam serta bisa terbang. Sampai kini, saya belum menemukan mahluk bernama sanekala ini.

Sore yang cerah dan angin barat yang bertiup kencang membuat ideal menerbangkan layang-layang. Layang-layang bisa menjadi indikator musim kemarau, maklum saja waktu saya kecil tidak tahu ada siklus musim di dunia ini. Yang saya tahu hanya kalau musim kemarau itu panas dan sore bisa main seenaknya serta kewajiban untuk menyiram tanaman, nah kalau musim hujan saya bermain menjelang siang di selokan membuat bendungan dari tanah liat, main air dan basah kuyup (kadang ibu marah-marah kalau saya leledokan (kotor-kotoran) alasannya baju habis karena yang kemaren-kemaren belum kering karena hujan sepanjang hari).

Menyaksikan layang-layang di udara membuat saya kagum, saya berpikir tentang apa yang menyebabkan layang-layang bisa terbang tinggi. Apakah karena kertas yang ringan atau karena angin. Saya sempat berkesimpulan bahwa layang-layang bisa terbang karena kertas yang ringan, karena tanpa rangka pun kertas bisa terbang. Pengecualian adalah kertas koran, saya menganggap kertas koran terlalu berat untuk diterbangkan.

Anak-anak dikampung saya membuat sendiri layang-layang, menggambarnya dengan kreasi sendiri. Tidak termasuk saya, saya tidak bisa membuat layang-layang karena bapak saya tidak bisa membuat layang-layang. Sekali-kalinya membuat eh tidak terbang, akhirnya mencari saja layangan putus yang hinggap di kebun belakang tempat tanaman saya sirami.

Sore yang cerah ini menyisakan lembayung sesaat sebelum menuju malam, warnanya biru, putih, oranye cerah dan kekuningan. Semburat matahari sore itu memancarkan sinar yang indah. Saya terkagum-kagum melihat keindahan sore dimusim kemarau, sinar matahari sore ini kadang membuat waktu siang terasa lebih lama, saya merasakannya karena walaupun sudah maghrib tetapi masih terang benderang.

Kemarau membuat sore menjadi indah.

**
Kemarau adalah malam yang terang benderang dikala bulan purnama. Keceriaan sore berlanjut dimalam hari, sehabis ngaji (saya ngaji di rumah di wuruk (diajar) oleh bapak) dan teman juga beres ngaji di surau kampung kami. Saya langsung keluar rumah, tentu setelah mendapat ijin dari orang tua. Bersama teman-teman saya kembali bermain di teras rumah, di tempat yang lapang. Main kuda-kudaan dengan sarung dililitkan ke leher dan seorang teman yang di belakang sebagai joki, bergantian kami memainkan peran itu. Saling kejar saling teriak di bawah sinar bulan purnama.

Di malam hari dimusim kemarau bulan purnama terlihat sempurna, bulan terlihat penuh. Saya selalu penasaran melihat bulan, memandangi dari jauh dan kata bapak saya, harus dilihat dengan mengucap maha besar Alloh. Saya bertanya tentang bulan. Saya bertanya pada banyak orang, pada seorang kakek juga pada seorang nenek. Dan jawabannya sama, di bulan ada nini anteh. Nini (nenek) anteh juga sama dengan sanekala, saya juga belum menemukannya sampai sekarang.
Kata jawaban itu, nini anteh di bulan bersama kucing dan nini anteh suka menenun. Bayangkan sudah berapa kain yang nini anteh bikin.

Sinar bulan purnama yang sempurna di musim kemarau, walau sesekali awan menghalangi untuk sekedar numpang lewat itu, membuat malam terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Dan saya bersama teman-teman melewatkan malam dengan keceriaan. Keceriaan itu biasanya berakhir kalau sudah larut malam, atau seorang anak kecil nangis karena jatuh, atau ibu kami memanggil. Saya tidak tahu persis jam berapa kami mengakhiri bermain malam, yang pasti saya selalu tertidur nyenyak jika sudah bermain.

Kemarau menyisakan malam bulan purnama dengan keceriaan.

**
Kadangkala kemarau benar-benar membuat saya khawatir, kejadiannya karena sering terjadi kebakaran hutan. Bahkan kebun kami pernah dilahap si jago merah, untungnya bukan kebun belakang yang tanamannya saya sirami setiap pagi dan sore menjelang pergi sekolah.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana api melahap tanaman kering yang ada di kebun, atau ilalalang di padang penggembalaan. Saya menduga ada orang jahil yang sengaja membakar. Tetapi seiring waktu saya belajar bahwa suhu panas matahari yang memancar ke bumi pada titik tertentu bisa membuat api, terutama pada gesekan-gesekan ranting pohon yang kering. Saya tahu ini dari tayangan di televisi.

Kekeringan menyebabkan lahan yang tadinya subur untuk bercocok tanam menjadi gersang, bahkan terlihat sangat kering kerontang. Ditambah dengan suhu yang panas maka lengkaplah cerita penderitaan di desa kami, sebagian menyebutnya musim kemarau sebagai peringatan Tuhan untuk manusia agar mensyukuri karuniaNya. Untuk ini dalam Islam ada sebuah sholat meminta hujan, namanya Sholat Istiskho. Waktu saya kecil saya pernah diajak bapak untuk Sholat Istiskho. Saya tidak mengerti dengan sholat ini, sholat dilaksanakan mirip dengan Sholat Idul Fitri hanya waktu pelaksanaannya saja yang berbeda. Sholat Istiskho dilaksanakan pada waktu siang menjelang matahari berada tepat di atas ubun-ubun.

Terbayang bagaimana panasnya, saya berada disamping bapak waktu sholat ini. Bapak begitu bersungguh-sungguh dalam memanjatkan doa memohon hujan walau panasnya minta ampun. Kepanasan ditengah terik matahari membuat saya kecil mengeluh ke bapak, dan tahu kah apa jawaban bapak? Beliau menjawab: ”Panasnya matahari disini tidak akan sepanas matahari di padang mahsyar dengan 7 matahari yang jaraknya satu jengkal di atas kepala kita”. Saya kaget tetapi saya berpikir positif waktu itu, karena kata bapak kalau orang beriman jangan takut ada Alloh yang akan melindungi. Saya merasakan optimisme bapak ketika berdoa. Jadi walaupun panas, saya tetap bertahan. Dalam hati saya berkata, ”bagaimana mungkin saya bisa bertahan dengan 7 matahari kalau 1 matahari saja saya mengeluh”.

Selepas sholat meminta hujan, saya tidak menghitung hari menunggu hujan, yang saya rasakan hanya ada sedikit optimis dalam diri saya bahwa hujan akan datang. Kenyataan memang hujan datang turun ke bumi, tetapi sekali lagi saya tidak menghitung berapa hari atau berapa bulan rentang waktu dari kami sholat meminta hujan dengan hujan turun.

Kemarau menjadi pelajaran bagi saya dari bapak untuk tidak mengeluh karena panas. Terima kasih untuk bapak, semoga beliau damai disisiNya. Tuhan, masukanlah beliau pada golongan orang yang diberkati, pada golongan orang yang bersyukur!

Kemarau menyisakan semangat, optimisme dan yakin akan pertolongan Tuhan.

**
Malam kemarau adalah malam terdingin di daerah pegunungan, dan hari-hari tersesak karena debu yang bertebaran dipinggir jalan desa. Selain di sisi pantai yang saya sebut sebagai tetangga Australia. Saya menghabiskan masa kecil di daerah perbukitan di selatan Garut. Perubahan kontur wilayah ini membuat saya harus bisa secepat mungkin menyesuaikan diri dengan suhu yang sangat jauh berbeda.

Dinginnya malam hari di musim kemarau terlihat dari uap-uap yang keluar dari mulut kalau saya tiupkan, seperti sedang mengeluarkan asap rokok. Juga dari kolam-kolam ikan yang terlihat ”ngebul” bukan panas tetapi karena dingin. Kalau saya raba, dinginnya seperti air es.

Malam hari dengan bulan purnama di samping Gunung Cikuray, adalah pemandangan lain dari musim kemarau. Karena terlihat jelas puncak gunungnya, saya bertanya pada bapak tentang situasi di atas gunung tersebut. Bapak menjawab dengan penuh keyakinan bahwa di puncak gunung itu ada banyak burung yang sangat indah, yang tidak akan ditemui di bawah atau di kaki gunung. Bapak juga menceritakan tentang keadaan jika bermalam di puncak gunung, kata beliau, sarung yang dipakai untuk selimut akan berembun saking dinginnya.

Dinginnya malam di musim kemarau membuat kami harus siduru (menghangatkan badan dekat hawu (tempat pembakaran untuk menanak nasi atau masak memasak) sebelum tidur atau bangun tidur menjelang pagi setelah Sholat Shubuh. Masa siduru adalah waktu yang sangat menyenangkan, sambil bermain-main api saya meuleum (membakar) ubi atau ketela pohon yang saya celupkan ke air gula atau langsung dimakan dengan gula.

Oiya... Gunung Cikuray yang selalu saya bayangkan puncaknya dari kecil itu, akhirnya bisa saya daki ketika saya menjadi mahasiswa. Saya mendaki Gunung Cikuray untuk menuntaskan kepenasaran waktu kecil. Saya pun mengetahui keadaan sekitar puncak gunungnya seperti yang dibayangkan sebelumnya.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Kenangan Kemarau di Kampung "