Sekejap Merasakan Suasana Belajar SALAM Jogja

"May my soul bloom in love for all existence" (Rudolf Steiner)


Pagi di Yogyakarta kala itu sedang cerah. Hari sebelumnya hujan badai di Bantul menerjang beberapa rumah. Mendung dan hujan di Yogya buat saya adalah keanehan karena selama mengunjungi Jogja tak pernah ada kata mendung. Selalu cerah ceria dan panas terik pada siang hari. 


Setiap ke Jogja, selalu gagal rencana mengunjungi salah satu sekolah alternatif yang memberikan model pembelajaran aktif dalam kegiatannya. Alasan ini itulah yang akhirnya harus rela menunggu sampai pagi itu. 


Sebelum keberangkatan, dari Stasiun Kiaracondong Saya hubungi salah satu orangtua siswa SALAM, Tutek Bandhit, yang saya kenal ketika membeli buku "Kami Tidak Seragam". Dari beliau saya diarahkan untuk menghubungi Yudis dan Gernata Titi. Respon yang positif membuat saya semakin bersemangat merasakan suasana pembelajaran di SALAM. Sebagaimana semangat yang sering muncul dari sesama pegiat sekolah alternatif, menyerap energi pembelajar dari satu sekolah ke sekolah lainnya menjadi semacam keharusan. Ada semangat kolaborasi yang mengalir tatkala kita bisa membuka diri dari banyak orang.


Semangat itu saya rasakan persis kala menjejak kaki di lingkungan sekolah SALAM. Di depan saya disapa seorang yang usianya tidak jauh beda dengan saya. Dalam hati saya sudah bisa memastikan jika dia adalah guru atau fasilitator di SALAM. 



Memasuki lingkungan sekolah saya melewati jalan setapak di antara sawah yang sudah dibeton sebagai saluran irigasi pertanian. Lokasi sekolah di tengah sawah menjadi menarik jika berhasil menangkap moment kala padi sedang ditanam, dirawat, dan dipanen. Gradasi dari warna hijau ke warna kuning di sekitar sekolah adalah keindahan yang menjadi kekhasan. Keindahan yang akan membawa keharmonisan dan keharmonisan yang akan mendatangkan kedamaian demikian kata Hazrat Inayat Khan dalam buku Kesatuan Ideal Agama-Agama.  


Pohon kersen di sekitar sekolah menarik perhatian saya pada buah-buahnya yang sudah matang berwarna kemerah-merahan. Saya petik satu dua yang terjangkau. 


Di halaman sekolah, beberapa anak sedang bermain. Sisanya di dalam kelas sedang bersama fasilitatornya. Beberapa orang dewasa bercengkerama di depan, sebut saja itu kantor dan perpustakaan. Saya menyapa beberapa orang yang ada di sana kemudian bertemu Yudis yang sedang mengobrol dengan dua orang mahasiswi dan seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di Jogja. Tidak banyak yang saya serap dari obrolan di sana hanya meminta izin untuk mengabadikan beberapa moment di SALAM. "Boleh mas, asal tidak memosting anak secara personal. Ambil saja beberapa aktivitasnya" 


Ya, saya paham tentang pentingnya menjaga privasi anak. Saya suka heran dengan orang dewasa yang secara gamblang memosting anaknya atau anak orang lain tanpa izin. Lebih parah lagi masih ada sekolah-sekolah yang membiarkan guru-guru untuk secara bebas memberikan informasi perihal nama anak didiknya. Jelas di beberapa negara melarang siapapun untuk menyebarluaskan informasi baik foto atau informasi lain tentang anak di media sosial. Ada juga yang membuat aturan anak bisa menuntut jika ada yang memublikasi tanpa izinnya. 



Balik ke SALAM, saya bergegas ke tempat lain yaitu jenjang SMP dan SMA. Gernata Titi sedang berdiskusi merancang kegiatan untuk tanggal 2 Mei 2018 bersama siswa-siswa di jenjang SMA. Saya mengikuti dinamika kegiatan tersebut tanpa banyak bergerak selain menyerap semua energi yang muncul pagi itu. Seorang yang menyapa di depan sebagaimana dugaan saya benar adanya. Dia adalah fasilitator untuk jenjang SMA ini. Bersama Gernata Titi ia turut memberikan ide-ide untuk memancing ide-ide dari siswa. 


Lepas dari SMA, saya izin hendak sowan ke Pak Toto Rahardjo. Saya mengenal beliau dari tulisan-tulisan pendidikan alternatif yang sering dipublikasikannya bersama Roem Topatimasang, Mansur Fakih, dan Romo Mangun. 


Melewati ruangan yang disetting untuk jenjang TK, kemudian dapur, lalu bertemulah saya dengan Pak Toto. Seorang anak muda mahasiswa sedang berdiskusi dan saya turut bersama dalam meja kayu. Ibu Sri Wahyaningsih menyambut hangat dan ramah. Mulai saya menyimak semua cerita dari Pak Toto Rahardjo tentang pendidikan, tentang kritik-kritik pada pendidikan konvensional, tentang praktik-praktik merdeka belajar di SALAM, tentang komunitas orangtua, dan banyak lagi hal-hal menarik yang saya simak. 


Pembicaraan panjang lebar ke arah kekuatan pangan, kemandirian bangsa, dan peran pendidik dalam membangun bangsa Indonesia lewat pendidikan yang manusiawi. "SALAM itu sekolah biasa saja" demikian tegas Pak Toto pada saya. Biasa saja tapi saya merasakan energi luar biasa yang muncul dari semangat merdeka belajarnya.


Tak banyak waktu yang saya miliki membuat saya harus mengakhiri kesempatan langka tersebut. Sebelum pamitan saya sampaikan titipan salam dari pegiat pendidikan yang pernah bersama Pak Toto sebagai anak buahnya seniman Mul yaitu Bangun Narutama. Pak Toto tampak mengingat-ingat kembali nama yang saya sebut tapi lepas itu ia mengangguk "Oh iya, Terima kasih"


Saya pamit lalu diantar Ibu Sri sampai pintu depan. Saya bersyukur kesempatan langka bertemu tokoh pendidikan alternatif itu terwujud.  Energi pembelajar aktif tak pernah surut dari matanya dan semangat pembelajaran kolaborasi terasa kuat di lingkungan sekolah SALAM. Walau hanya sekejap merasakan suasana belajar di SALAM, saya bisa merasakan banyak keindahan yang terpancar dari setiap sudut. Maju terus pendidikan alternatif! 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sekejap Merasakan Suasana Belajar SALAM Jogja"

Posting Komentar