Che Guevara Dan Komunitas Lorong

"Masa lampau selalu aktual" (Historia)

Dulu saya pernah bikin sebuah komunitas yang diberi nama Komunitas Lorong, disingkat Korong. Komunitas ini sebagai kritik kepada panitia Ospek di kampus Fakultas Teknik sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Saat jadi Panitia mereka bilang "Kamu ini kompak Korong!". Selepas kegiatan itu mereka menghilang ditelan bumi. Saya tantang mereka yang dulu bilang "nanti aktif yah, aktif yah" giliran saya aktif berorganisasi, mereka sibuk dengan berbagai alasan.
Ada juga panitia yang tersisa dan konsisten menanamkan idealisme untuk para mahasiswa. Sisanya ini yang kemudian menjadi senior dan guru saya. Di antara mereka adalah senior berpengaruh di himpunan mahasiswa dan para pegiat perhimpunan pecinta alam. Saya menaruh hormat pada mereka karena peran besar mendampingi saya belajar berorganisasi. Arahan dan petunjuk mereka sangat berarti.
Kembali ke Komunitas Lorong -yang berpengaruh di fakultas teknik setidaknya menurut saya- ini adalah sebuah komunitas pelarian setelah mengalami kejenuhan bergiat di organisasi pecinta alam. Seperti biasa, kehadiran komunitas akan memicu lahirnya komunitas tandingan. Komunitas itu bernama Komunitas Bebas. Maklum lagi senang-senangnya saling bertentangan satu sama lain. Pertentangan ini rupa-rupa bentuknya, bisa dalam bentuk ideologi, klaim anggota, sampai urusan 'pakuat-kuat argumentasi nu teu penting'. Namun perlu dicatat, sekuat-kuatnya bertentangan kalau urusan makanan kami kompak selalu. Apalagi kalau urusan serangan dari ideologi luar, kami bisa bersatupadu. Iya, hanya urusan di dalam atau urusan rumah tangga saja kami bertentangan.
Urusan yang menarik dan bertentangan yang ingin saya ceritakan kali ini adalah klaim anggota. Jadi si Komunitas Bebas ini bebas saja sebagai mana adanya. Ideologinya adalah bebas. Bebaskan segala bentuk. Anggotanya bebas dan apapun yang berhubungan dengan identitas juga bebas. Namanya juga Komunitas Bebas. Anggota Komunitas Bebas itu ya bebas siapa saja. Sementara Komunitas Lorong adalah siapapun yang memasuki lorong itu maka ia auto -mengutip istilah anak zaman sekarang- jadi anggota komunitas.
"Kamu anggota Komunitas Bebas? Karena sekarang nongkrong di Lorong, terimalah kenyataannya bahwa sekarang kamu anggota Komunitas Lorong!"
Mau protes bebas, mau sukarela juga silakan. Yang pasti, kami sangat menikmati klaim para mahasiswa-mahasiswi anggotanya. Keberhasilan asyik waktu itu adalah membawa mahasiswi yang cantik jelita (tenang! Semua mahasiswi itu cantik) ke lorong. Setelah ia pergi kemudian saya dekati dedengkot Komunitas Bebas, "Yes! Urang menang anggota anyar!"
Manifesto perjuangan komunitas lorong selalu saya tuliskan dalam bentuk artikel yang disebarluaskan lewat majalah dinding. Tentu saja dengan nama penulis yang disamarkan ala-ala gerakan bawah tanah. Nah, karena komunitas lorong ini yang memiliki lorong, maka setiap sudut lorong dihias sebebasnya. Maka muncullah berbagai pilihan gambar. Salah satunya adalah Che Guevara. Ini gambar paling 'eye cacthing' dibanding gambar lain semacam Tan Malaka, Soekarno, dan tokoh lainnya yang tidak bisa saya sebutkan di sini.
Ternyata peminat seni gambar di lorong ini bukan hanya komunitas lorong, kenyataannya para pegiat komunitas bebaspun turut serta menggambar. Ini kemenangan komunitas lorong atas komunitas bebas. Waktu berjalan, lorong itu makin berwarna dan kehadiran gambar itu mengusik petinggi Fakultas Teknik. Maka dipanggilah saya ke ruangan Dekan. Diajak ngobrol kesana kemari sampai ditujuan utama, "Hapus gambar-gambar itu, ini bukan Fakultas Seni"


Che Guevara 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Che Guevara Dan Komunitas Lorong"

Posting Komentar