Ingatlah Sebuah Batas

"Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung" (Pesan dari Baduy)

Gelang kesayangan saya patah. Terbelah dua tepat di tengah-tengah. Gelang bertuliskan "Reality has limits Imagination is boundless" itu sudah lama saya pakai. Gelang yang tadinya saya pikir tidak akan rusak karena terbuat dari besi akhirnya harus saya simpan.

Batas! Saya sadar pentingnya mengetahui bahwa segala sesuatu itu ada batasnya. Realitas, pengalaman, apapun itu ada batasnya. Mengenali batas ini menjadi pengobat saat bersedih dan bersyukur saat bersenang hati.



Batas ini menyadarkan saat kehilangan atau saat berkelimpahan. Batas ini sangat subjektif sehingga sulit diukur berdasarkan kriteria apapun. Siapa yang bisa mengukur batas saat kita berkelimpahan? Atau siapa yang bisa menentukan batas saat kita kekurangan? Tidak ada.

Apakah dipenjara ketika lepas berkelimpahan dianggap sebagai batas? Apakah kekayaan menjadi batas ketika kekurangan sudah dilewati. Sulit menentukannya karena tidak ada ukuran pasti di mana letak batasnya.

Kesadaran tentang batas ini juga sama halnya dengan menentukan batas itu sendiri. Ada yang bisa menyadarinya tetapi tak sedikit yang sulit sadar batasan ini.

Siapapun tak suka dibatasi tapi kesadaran akan adanya batasan dalam hal apapun di dunia ini menjadi sangat penting. Jika tidak mau dibatasi, sadari segala sesuatunya terbatas bahkan kehidupan dirimu. Tidak perlu jumawa ketika di atas dan tidak perlu bersedih ketika di bawah.

Kendali batas ini semakin nyata ketika banyak peristiwa yang menohok muncul ke permukaan. Seorang yang merintis usaha sampai sukses dan bergelimang harta di usia muda kemudian tumbang. Perusahaan besar merambah ke mana-mana kemudian mengklaim sebagai fast growing company hancur lebur tak bersisa.

Terkadang jebakan batas ini saru, samar, nyaris tak terlihat tapi bagaimanapun ingatlah segala sesuatunya serba terbatas. Menjadi biasa saja bisa adalah pilihan terbaik. Sederhana, seadanya, secukupnya. Berhentilah! Istirahatlah! Batas itu nyata jika kita coba raba lebih dalam ke dalam diri.

Kemudian saya ingat petuah orang sunda tentang kehidupan dan kesederhanaan ini, “hirup mah heuheuy jeung deudeuh, mun keur bungah cape seuri, mun keur sedih cape ceurik. Sakuduna mah mun keur bungah kudu sedih, mun keur sedih kudu bungah, jadi moal pinanggih jeung kasusah”. Lalu Orang Baduy juga berpesan “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” . Bisa jadi apa yang disampaikan orang Baduy tersebut adalah semacam batas.

Nah, mari kembali lagi ke gelang. Gelang kesayangan si realitas itu terbatas memang berakhir. Saya tidak melihat di sisi imajinasinya karena sulit mencari padanan yang tepat untuk menggambarkan imajinasi tak terbatas dari gelang yang patah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ingatlah Sebuah Batas"

Posting Komentar