Mendengarkan Sebagai Salah Satu Proses Belajar

"Don't think or judge, just listen! (Sarah Dessen

"Just as in the body, eye and ear develop as organs of perception, as senses for bodily processes, so does a man develop in himself soul and spiritual organs of perception through which the soul and spiritual worlds are opened to him. For those who do not have such higher senses, these worlds are dark and silent, just as the bodily world is dark and silent for a being without eyes and ears." (Rudolf Steiner

Saya mengingat satu pengalaman yang menginspirasi perihal mendengarkan, guru saya, kalau menerangkan sesuatu suaranya pelan dan terkontrol setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya, ia tidak suka marah-marah di dalam kelas. Jika pun ia marah, ia cukup diam. Namun, kita semua tahu bahwa beliau sedang marah atau sedang tidak berkenan atas apa yang terjadi saat itu. Kata-kata yang diingat saya adalah tolong dengarkan dengan baik.

Entah kenapa, kita sebagai murid seolah tersihir dengan beliau. Beda dengan guru yang suka teriak dan kadang marah-marah. Yang ada dalam diri ini adalah iseng. Aduh saya harus memohon maaf untuk hal ini sekarang biar tidak kualat. Untuk guru yang inspiratif tersebut, ada segan dan rasanya berdosa jika tidak mendengar sebaik-baiknya. 

Kemudian beralihlah peran itu sekarang pada diri saya. Kini saya berdiri di depan anak-anak untuk membawa pengalaman belajar. Tidak mudah memang, bahkan Ludwig Wittgenstein saja menyerah menjadi guru SD. Kalau bukan kekuatan yang terus membuat tetap berdiri, mungkin nasib di kelas berakhir sejak ada fenomena orang tua komplain terhadap guru. 

Suatu hari saya berada di antara anak-anak yang sangat senang berbicara. Tidak ada jeda selain ngomong setiap waktu. Bahkan ketika temannya sedang bicara pun, beberapa anak lainnya berbicara. Ini sangat unik karena kemampuan berbicara dalam diri anak-anak seperti tumpah ruah saat itu. Pertanyaan saya adalah apakah mereka tak punya kesempatan berbicara? Atau mereka sebenar sedang menguji sejauh mana peraturan kelas bisa konsisten? Banyak sekali pertanyaan lainnya yang muncul. 

Namun, setelah melewati masa-masa berat saya menemukan setitik jawaban. Mereka sedang belajar merespon temannya tapi lupa mendengarkan yang lain.
Begitu besarnya efek belajar mendengarkan ini. Pengalaman di masa lalu ketika masih ada di sekolah dasar, guru mengajarkan salah satu pelajaran pertama di kelas adalah "sidakep" Yang berarti duduk tegap, tangan di atas meja, mulut diam, dan telinga dibuka. Tak segan guru akan memukul meja jika ada yang tidak bisa diam, baik badannya atau mulutnya. Untuk saat itu mungkin demikianlah cara mudah mengajar anak mendengarkan gurunya. Tak tahu jika sebagai murid, bukan belajar yang hadir tapi ketakutan. 


Mendengarkan adalah proses belajar (gambar blackboard di Sekolah Arunika Waldorf - Iden)

Mendengarkan Adalah Belajar
Belajar benar-benar akan terjadi jika ada interaksi antara pembicara dengan pendengar. Makan interaksi ini rupa-rupa. Ada dalam bentuk ramenya sebuah kelas karena dianggap ada saling sahut menyahut. Ada pula yang memang sepi nyaris seperti tidak ada interaksi. Ada pula yang moderat, tetap bisa memainkan keduanya dalam porsi yang pas. 

Dalam filosofi pendidikan waldorf, ada pintu-pintu di diri manusia ini yang menjadi jalan masuk sebuah pengalaman belajar. Namanya 12 senses atau 12 indera manusia. Keduabelas indera ini sangat menarik karena berhubungan dengan wilayah willing, feeling, dan thingking. Keduabelas indera ini juga secara holistik membangun sistem yang memiliki keterkaitan antar satu dengan lainnya. 

Nah, pendengaran ini adalah salah satu indera yang merupakan higher senses. Di bagian lower senses-nya pondasi mendengarkan ini adalah keseimbangan. Atau senses of balance. Proses masuknya sebuah informasi bisa dicerna dengan lengkap ketika ia memiliki kemampuan keseimbangan yang baik. Mari kita lihat juga orang keseimbangan itu terdapat di telinga. Di sana ada yang namanya koklea. Jika seorang petinju terpukul bagian telinga, ia akan limbung dan ambruk karena tidak seimbang. 

Bagaimana membangun seseorang mampu mendengarkan dengan baik, suruh dia diam dulu sampai ajeg. Jika sudah demikian, minta ia menarik napas dalam-dalam dan barulah sampaikan informasi pelajaran atau apapun dengan jernih. Ia akan menerima informasi dengan jelas saat diam segalanya dan terbuka untuk mendengarkan. 

Ini pula pelajaran mendasar di sekolah waldorf. Anak-anak di jenjang kecil seperti SD kelas 1, bangunan pondasi gerak, keseimbangan menjadi penting untuk dibangun dengan dibiasakan setiap hari.

Ritme memainkan peran tak kalah menarik untuk membiasakan anak mampu mendengarkan. Ajak mereka tahu kapan bergerak kapan diam, kapan berbicara dan kapan mendengarkan. 

Mendengarkan bukan saja proses belajar tapi lebih dalam dari itu adalah proses saling hormat menghormati. Saya menghormati anda dengan mendengarkan anda dan sebaliknya saya menghormati anda untuk berbicara dan menyampaikan pendapat sehingga saya bisa mengerti dan memahami anda. Bayangkan jika ini ada dalam kehidupan sosial saat ini, tentu indah bukan? 

Beda Listen dan Hear

Salah satu hal mendasar yang pernah saya diskusikan dalam sebuah forum belajar adalah bedanya Listen dengan Hear dalam bahasa Inggris ini sangat menarik. Terutama saya kaitkan dengan proses belajar. Mari kita kupas dari beberapa sumber, antara lain:

1. Hear

Hear (heard) dijelaskan oleh Cambridge dengan “to receive or become conscious of a sound using your ears” yang artinya “menerima atau menjadi sadar karena suara menggunakan telinga”. Jadi hear adalah memeroleh suara dari luar ke dalam telinga kita. Kita bisa terjemahkan kata hear ke dalam bahasa Indonesia dengan “dengar atau mendengar”

Beberapa definisi Hear

  1. Menyadari bunyi-bunyian yang masuk ke telinga tanpa memperhatikan bunyi-bunyian tersebut
  2. Mengalami secara fisik sensasi suatu bunyi-bunyian
  3. Mendengar bunyi-bunyian namun tidak berekspektasi mendengar bunyi-bunyian tersebut sebelumnya
  4. Mendengar bunyi-bunyian akan tetapi dengan tidak disengaja
  5. Mendengar tanpa ada niat untuk memahami atau mengerti lebih dalam
  6. Mengetahui adanya suatu bunyi-bunyian tanpa dikendalikan sebelumnya
  7. Mendengar bunyi-bunyian dengan atau tanpa keinginan sendiri untuk mendengarnya
  8. Mendengar suara tanpa sengaja kemudian dapat memutuskan untuk mendengarnya lebih jauh atau tidak

Aktivitas menyadari sebuah bunyi-bunyian yang dapat dilakukan selama masih terdapat fungsi pendengaran dan fungsi otak

2. Listen

Cambridge menjelaskan makna listen dengan “to give attention to someone or something in order to hear them” yang artinya adalah “memberi perhatian kepada seseorang atau sesuatu dengan tujuan mendengarkan mereka”. Jadi listen adalah mendengarkan dengan seksama. Kita bisa terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “mendengarkan”

Definisi Listen

  1. Memusatkan perhatian pada bunyi-bunyian yang tertangkap oleh telinga
  2. Berkonsentrasi pada sebuah suara
  3. Berusaha mendengar seseorang atau sesuatu
  4. Memberi perhatian pada seseorang atau sesuatu yang terdengar
  5. Mendengarkan dengan sengaja dan dengan niat untuk mengerti atau memahami
  6. Dengan sadar menggunakan kemampuan mendengar

Mendengarkan kemudian memikirkan apa yang didengar, apa maksudnya, bagaimana meresponnya, dan apakah akan melanjutkan atau memperhatikan tindakan mendengarnya atau tidak.

Tantangan Mendengarkan
Banyak sekali tantangan yang hadir untuk membiasakan anak memiliki kemampuan mendengarkan. Selain pembiasan yang harus konsisten juga lingkungan sekitar yang kondusif untuk memberi ruang belajar dari semua pihak, golongan, dan lainnya.

Orang lebih suka berbicara dibandingkan mendengarkan itu fakta. Coba saja lihat media sosial yang bertebaran begitu masif. Orang lebih suka mengomentari yang lain alih-alih merefleksikan ke dalam. Terlepas ada beberapa orang yang dengan kepentingannya sengaja membuat sebuah statement agar dikomentari yang lain.

Tantangan selanjutnya adalah menguatkan senses dasar dari proses mengolah informasi dengan baik lewat pendengaran ini. Kita tahu bahwa ruang gerak anak-anak sekarang makin sempit. Lebih sempit dari ruang kamarnya atau lapangan yang tergusur bangunan. Sangat spesifik ruang bermain kini diambil alih oleh teknologi. Gawai adalah salah satunya. Bukan hendak meniadakan teknologi tapi jika kita tidak berhasil menyeimbangkan dengan kegiatan gerak tanpa gawai, anak-anak akan sulit sekali menjadi pendengar yang baik. Ya wajar saja jika semakin ke sini, fenomena kesulitan belajar dalam diri anak akan semakin banyak. Sebelum terlambat, ajak anak bermain tanpa gawai! 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mendengarkan Sebagai Salah Satu Proses Belajar"

Posting Komentar