Seperti Rindu, Menjadi Guru di Sekolah Waldorf Itu Berat!

Love starts when we push aside our ego and make room for someone else.”
― Rudolf Steiner

You will not be good teachers if you focus only on what you do and not upon who you are.”
― Rudolf Steiner 

Sekolah Arunika Waldorf (dok. Iden)


"Jangan rindu. Ini berat. Kau takkan kuat. Biar aku saja" Masih ingat kata-kata Dilan kepada Milea, kan? Iya, rindu itu berat. Sama seperti rindu, menjadi guru di sekolah waldorf itu berat! Tapi tidak harus ditambah biar aku saja. Soalnya kalau aku saja, tambah berat euy! 

Catatan ini adalah sebuah tantangan untuk membuka sedikit hal yang dialami perihal menjadi guru di sebuah sekolah waldorf di Indonesia. 

Sekolah Waldorf di Indonesia dalam beberapa catatan sejarahnya ternyata tidak baru-baru banget. Sekolah ini sudah pernah berdiri pada tahun 1930-an di beberapa daerah seperti di Bandung dan Jawa Tengah. Tahun itu adalah tahun pergerakan kemerdekaan yang semangatnya membangun manusia merdeka. Seiringlah dengan semangat-semangat pendidikan yang dibawa oleh Ki Hadjar Dewantara. 

Kenapa selaras, karena Ki Hadjar Dewantara juga belajar dari sumbernya esensi pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Coba baca-baca lagi buku Manusia Merdeka, atau buku lainnya dari Ki Hadjar Dewantara, semua semangatnya sama dengan pelopor pendekatan pendidikan merdeka seperti Rudolf Steiner, Maria Montessori, dan Frobel. Oh iya jangan lupakan Rabindranath Tagore, karena ia juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Rabindranath Tagore yang bergerak lewat pendidikan untuk memerdekakan bangsa India dengan mendirikan sekolah alternatif. 

Balik ke Sekolah Waldorf, saya mengenal sekolah ini lewat kelompok kajian belajar di sebuah sekolah di Bandung. Saya berguru kepada orang-orang yang sudah belajar sebelumnya. Sekolah ini unik dan menarik untuk ukuran saya pada waktu itu. Sekarang, beda cerita haha! 

Saya bergiat di sekolah ini sejak awal dalam bentuk ide. Sampai mewujud sebuah sekolah barulah saya mengenal sisi-sisi lainnya. Inilah sisi-sisi lain dari sebuah sekolah Waldorf. 

  1. Mendidik di Sekolah Waldorf itu Berat

Iya, saya katakan demikian karena kalau mudah tentu banyak yang ingin mengajar dan bergiat di sekolah ini. Berat tidak bisa ditimbang tapi perjalanannya cukup terjal. 

2. Idealisme menjadi sangat penting

Di zaman gini masih bicara idealisme rasanya begitu utopis, seperti mimpi yang tidak akan dikejar. Hanya angan-angan yang ada. Atau hanya sebuah hal yang sulit diwujudkan. Namun, saya merasakan keberadaan idealisme ini nyata adanya. Benar-benar harus menjadi semacam pegangan agar tujuan mulia mendidik tetap terjaga. 

3. Guru harus memiliki kapasitas diri yang baik

Kapasitas diri ini aduh apalagi? Kapasitas diri yang membuat seorang guru layak untuk mendidik dirinya terlebih dahulu sebelum mendidik orang lain. Guru harus mampu melakukan segala kegiatan dengan baik. Jika tidak bisa, harus berani mengatakan tidak bisa. Ini yang paling berat karena kadang ego sering membawa diri untuk memiliki kapasitas mampu dalam segala hal. Jika tidak mampu, seolah harga dirinya di kemana kan? Ya saya mah, kalau bisa saya katakan bisa, kalau enggak saya coba dulu, kalau dicoba belum bisa katakan saya tidak! 

4. Seni dan olahraga adalah dua hal asyik di sekolah Waldorf

Saya sempat bercita-cita jika menjadi guru saya ingin menjadi guru olahraga. Kenyataannya saya malah menjadi guru sains (dulu waktu di sekolah lain) atau guru semua subjek. Nah, di sini keinginan dan cita-cita menjadi guru olahraga seolah terwujud. Bagaimana caranya, beratnya adalah saya harus menjaga stamina fisik saya sebaik-baiknya. Masa guru olahraga loyo! 

Aha seni juga demikian, kalau bukan guru olahraga maka pilihan saya adalah guru seni. Dan ternyata mengajar seni di sekolah Waldorf itu tidak bisa dipisahkan dengan subjek pelajaran lain. Semua pelajaran selalu berhubungan dengan seni. Baik seni suara, seni gerak (tari), dan seni rupa (bentuk 3D dan 2D).

Otomatis dengan demikian harus juga belajar banyak perihal seni ini. Kalau perlu kuliah lagi, langsung saja ambil dua jurusan yakni Jurusan Seni Murni dan Jurusan Ilmu Keolahragaan. Fantastis bukan? Iya, bahkan jangan tanggung sekalian juga belajar filsafat, biar mengajar maksimal. Jadi ambil tiga Jurusan sekaligus.

5. Harus memiliki mental yang kuat dan siap belajar setiap waktu. 

Ini adalah point yang sangat penting tapi saya simpan diakhir. Mental yang kuat ini pondasi besar yang menopang semua gerakan. Mau idealisme, seni, olahraga, dan filsafat akan menjadi tidak berarti tanpa kesiapan mental untuk belajar setiap waktu. Mental yang kuat dan tangguh adalah keharusan untuk menjadi guru di sekolah Waldorf. 

Berat memang, makanya saya katakan menjadi guru di sekolah Waldorf itu berat! Dilan saja saya yakin tidak akan kuat. Catet! Eh pernah baca sekelas filsuf Ludwig Wittgenstein saja menyerah ketika ia menjadi guru sekolah dasar. 

Namun, yakinlah bahwa dalam hal yang berat sekalipun selalu ada tawa yang terselip dan candaan yang membuat rilex segala dinamika yang terjadi. Saya selalu ingat bahwa segala hal yang berat hari ini adalah bahan tertawaan di kemudian hari. 

Tetap menantang dan asyik kok bergiat di sekolah waldorf. Asyik karena setiap hari selalu ada hal yang bermanfaat dan bermakna untuk kehidupan. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Seperti Rindu, Menjadi Guru di Sekolah Waldorf Itu Berat!"

Posting Komentar