Membaca Cerpen Jakob Soemardjo

Pernahkah anda membaca cerita pendek (cerpen) yang harus mengkerutkan dahi, berpikir, menganalisis materi serta menyimpulkan inti ceritanya? Saya pernah menemui beberapa cerpen yang mungkin bagi saya terlalu belibet, rumit walaupun akhirnya tetap dibaca. Kadang yang belibet, rumit dan susah ditebak itu menarik, tetapi kadang membuat malas meneruskannya. Alih-alih ingin hiburan mendapatkan sesuatu yang mengasikan dari membaca, malah disuruh berpikir.

Membaca salah satu cerpen Jakob Soemardjo yang pernah dimuat Kompas, 28 November 2010, sungguh sangat mengasyikan. Isinya ringan, temanya sederhana dan alurnya sangat enak dibaca. Cerpen itu berjudul Tikus dan Manusia. Saya tenggelam dalam cerpen tersebut sampai akhirnya senyum-senyum sendiri membayang tokoh dalam cerpen tersebut. Apalagi cara penuturannya yang menggunakan kata orang pertama 'saya', tokoh dalam cerpen itu seolah pembaca sendiri.

Yah, dulu saya sangat menyukai sebuah cerita atau novel atau buku yang menggunakan orang pertama. Ini membuat saya terlibat didalam cerita tersebut. Berbeda dengan menggunakan tokoh langsung dengan nama, pemeran utama, lawan mainnya dan lain-lain. Saya diposisikan sebagai penonton saja, bukan bagian dari cerita tersebut. Saya suka bukunya The Last Lecture, Kisah Seorang Ayah Untuk Anaknya, Into The Wild, lalu Eat, Love and Pray dan masih banyak lagi.


Kalau sekarang sih, mau tokoh utamanya 'saya' atau bukan selamanya isinya ceritanya menarik, yaa saya lahap saja. Nah, Jakob Soemardjo dalam cerpen itu menceritakan kisah tentang tikus yang hidup di rumahnya. Bersama istrinya mereka berdua berjuang mengusir tikus. Konflik-konfliknya sangat ringan, seperti ketidaksetujuan istri atau usul suaminya yang menggunakan jebakan tikus, karena khawatir darahnya tercecer dimana-mana. Lalu saat menggunakan lem, mereka kebingungan bagaimana membunuhnya. Atau juga memilih untuk menggantungkan sebagai pancingan untuk mendapatkan tikus satunya lagi.

Karena menggunakan tokoh pertama kata 'saya', saya beranggapan bahwa cerpen tersebut nyaris seperti kisah asli yang terjadi antara Jakob Soemardjo dengan istrinya perihal tikus. Dari pengalaman itu, lahirlah sebuah cerpen yang mengasikan. Alurnya sederhana saja, ringan dan tidak bertele-tele. Itulah salahsatu cerpen yang saya baca hari ini di Kompas. Hmmmm jadi tertarik bikin cerita pendek kayak gitu euy. Oh iya, kolom Jakob Soemardjo sering saya baca juga di harian Pikiran Rakyat. Essainya ringan dan Bergizi.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Membaca Cerpen Jakob Soemardjo"


  1. Yg bikin kepala mengernyit biasanya cerpen di horison, saking pingin bacanya setiap paragraf diulang dan diulang ����

    BalasHapus
  2. Samaaa... terutama karena panjang juga sih hehe

    BalasHapus