Kisah Memanah

People always judge others by taking as a model their own limitations, and other people’s opinions are often full of prejudice and fear. Join with all those who experiment, take risks, fall, get hurt and then take more risks. Stay away from those who affirm truths, who criticise those who do not think like them, people who have never once taken a step unless they were sure they would be respected for doing so, and who prefer certainties to doubts.” ― Paulo Coelho, The Way Of The Bow

 Kisah Memanah (Photo by Ricardo Arce on Unsplash)

Senin pagi seperti biasa anak-anak senang bercerita tentang libur akhir pekannya. Beragam cerita yang mereka sampaikan. Sekalipun hanya di rumah, tetapi selalu ada yang menarik.

Misalnya, sebut saja seorang anak bernama Bulan yang menyampaikan kesannya dalam melewati akhir minggu. "Bosan, aku di rumah saja. Baru pindahan dan semuanya beres-beres". Berbeda dengan Bulan, Bintang cerita tentang kegiatan akhir pekannya bersama keluarga di arena panahan. Aha, ini yang menarik! cerita tentang memanah. Ya bukan berarti cerita Bulan tidak menarik, kisah pindah rumah pasti memberikan pengalaman baru bagi anak. Namun, saat ini saya ingin mengambil pelajaran dari kegiatan memanah.

Bintang kemudian menyusun ceritanya, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan. Ia berkisah bahwa memanah itu ternyata sulit. Berkali-kali ia gagal melepaskan anak panah dengan baik karena pegangannya yang tidak tepat. Walaupun ia berhasil melepaskan anak panah, tetap saja belum mencapai sasaran.

Apa yang disampaikan oleh Bintang ini menjadi awal untuk saya bercerita tentang kisah dibalik memanah.  

Memanah, bukan sekedar melepaskan anak panah saja. Ada pembelajaran menarik di dalamnya yang bisa dibagikan. Memanah dan berkuda adalah dua kegiatan menarik anak laki-laki jaman dahulu. Bahkan Nabi Muhammad menganjurkan anak lelaki untuk bermain panah dan berkuda sebagai kemampuan dasarnya (ditambah juga berenang). 

Memanah adalah sebentuk latihan berpikir dan merasa dengan seimbang. Fokus dan menjiwai setiap kali akan melepaskan anak panahnya. Hasil bidikannya adalah bentuk perpaduan yang harmonis antara fokus, konsentrasi, dan kematangan jiwa.

Saya selalu terkesan dengan catatan Paulo Coelho tentang memanah dan melihat bagaimana ia berpikir mendalam dari kegiatan memanah.

"Ketika aku menarik busurku," kata Herrigel kepada guru Zen-nya, "kadang aku merasa seolah-olah aku tak bisa bernapas jika tidak segera melepaskan anak panah itu."

"Kalau engkau terus berupaya mengusik momen-momen saat engkau harus melepaskan anak panah, maka engkau tidak akan pernah mempelajari seni sang pemanah" kata gurunya. "Kadang-kadang, hasrat berlebihan sang pemanah sendirilah yang merusak ketepatan bidikannya." (Paulo Coelho, Kitab Suci Kesatria Cahaya, hal 43)

Semakin kita renungi cerita anak-anak kemudian merefleksikannya dalam catatan atau keseharian, semakin mudah menarik kesadaran dalam ritme yang ingin dibangun.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Memanah"

Posting Komentar