Angin Mengiringi Perlahan

Angin Mengiringi Perlahan

Apakah sebuah puisi, sajak, dan karya sastra lainnya lahir begitu saja? Tidak! Ia lahir lewat proses panjang penulisnya. Ia datang dari pergulatan batin, perenungan, dan proses penjiwaan yang matang hingga akhirnya mewujud sebuah karya. 

Angin mengiringi perlahan, saya ambil sebait karya Eka Wardana dari buku Sajak-Sajak Rindu. Judul lengkapnya Pelangi di halaman 41. Saya ambil sebagai judul tulisan ini karena perasaan saya jatuh pada salah satu kalimat itu.

Eka Wardana dan Hartati berkolaborasi membuat sebuah karya sastra yang sederhana tetapi maknanya sangat dalam. Saya diajak menyelami setiap bait-bait puisi yang indah. Ada yang membuat saya tersenyum, ada yang membuat saya haru, ada yang membuat saya juga bertanya-tanya. 

Alam menjadi pilihan yang menarik untuk mengungkapkan perasaan. Melihat keindahan alam yang puitis tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh Eka, ia tangkap kemudian ia tuangkan keindahan tersebut dalam untaian kata-kata yang indah.

Keindahan lainnya bukan hanya pada peristiwa alami yang muncul setiap waktu dan terkadang lewat begitu saja, kejadian kecilpun bisa memberikan setitik keindahan. Sebut saja momen menunggu di halte, jalan di trotoar, dan hal remeh temeh yang seolah tidak penting tapi menjadi sangat menarik di tangan Eka Wardana. 

Mari kita lihat kesederhanaannya dalam sajak yang berjudul Dompet.

Dompet

ATM
SIM 
KTP 

Dua ribuan
Lima puluh ribuan
Seratus ribuan

Kuitansi
Faktur pajak
Slip gaji

Dompet kosong

Tinggal
ATM
SIM
KTP
Panik

Bogor, 3 Agustus 2016

Nah, ringan bukan? Tapi buat saya sangat dalam. Kejujuran yang terpancar pada sajak itu seolah mengajak saya untuk lebih dalam lagi melihat sisi-sisi lainnya.

Eka Wardana juga terinspirasi oleh beberapa penulis seperti Sapardi Joko Damono. Dalam salah satu sajaknya ia tuliskan bait-bait yang boleh dibilang mirip tetapi ia coba sajikan dalam bentuk yang lain. 

Perhatikan sajak yang berjudul Cinta Sederhana

Aku ingin mencintaimu sederhana
Seperti cintanya gunung dengan awan
Menjulang setara

Aku ingin mencintaimu sederhana
Seperti cintanya angin kepada air
Ia menghembuskan arus

Aku ingin mencintaimu sederhana
Seperti akar kepada tanah
Menjulur tak terhingga

Aku ingin mencintaimu sederhana 
Seperti ombak rindu pantai
Ia datang untuk mendekap

Aku ingin mencintaimu sederhana
Seperti kue klepon menuruti parutan kelapa
Nikmat lezat

Bogor, 14 Agustus 2016, 00.39



Lebih dalam lagi kita membaca di sana akan bertemu Hartati. Sedikit berbeda dengan Eka Wardana, ia menuangkan kerinduannya bukan sekadar kerinduan pada seorang manusia. Seperti dalam kisah Laila Majnun, kerinduan yang sebenarnya disampaikan sang pengagum bukan pada sosok manusia yang mewujud. Lebih dalam dari itu pada hakikat pencipta wujud itu sendiri, Tuhan. 

Lihat saja sebuah sajak yang berjudul Cinta dan Rindu.

Cinta dan Rindu

Pada siapa kutitipkan cinta
Cinta kutitipkan padaNya
Biarlah Dia yang menjagamu sampai saat yang tepat

Pada siapa kutitipkan rindu
Rindu kutitipkan padaNya
Biarlah Dia yang menyampaikan padamu pada saat yang tepat

Ya Allah, jagalah dia dengan sebaik-baik penjagaan
Jika memang Allah menakdirkan dirimu untukku
Dia akan membukakan jalan, memperkuat niat dan memberi kemudahan

Agustus 2016

Sampai pada akhirnya semua akan bermuara kepada pembaca. Pembacalah yang akan memberikan setiap kesan mendalam dari bait-bait yang disajikan dalam buku setebal 63 halaman ini.

Di tengah geliat puisi dikalangan anak muda yang terus berkembang, kehadiran buku kumpulan sajak ini tentu menjadi semacam pelepas dahaga akan buku-buku karya sastra yang berani muncul di tengah-tengah gempuran arus media baru (new media).  

Buku ini menarik untuk dikaji bersama-sama sebagai pembelajaran di sekolah-sekolah, studi group, dan tempat-tempat diskusi sastra lainnya. [Iden Wildensyah]


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Angin Mengiringi Perlahan"

Posting Komentar