Diskusi Dua Penulis Besar dan Seorang Pendebat

If more of us valued food and cheer and song above hoarded gold, it would be a merrier world.”
― J.R.R. Tolkien

Apa yang kamu rasakan ketika menemukan keterkaitan antar satu poin dengan poin lainnya? rupa-rupa. Bisa jadi terkejut, bisa jadi juga biasa saja. Saya termasuk orang yang suka terkejut karena senang tentu saja. Seperti menemukan misteri yang dicari lalu hadir di depan atau seperti mendapat jawaban atas pertanyaan. Tidak semua juga, sih! hanya sebagian kecil saja. Bisa jadi jawaban atas misteri tersebut menggiring pada pertanyaan lanjutan.

Banyak keajaiban dari membaca buku. Saya tak bisa menggambarkan detail setiap keajaiban tersebut. Setiap keajaiban yang hadir ini sangat menarik untuk diceritakan. Salah satu yang kemarin-kemarin menggelitik saya adalah buku-bukunya J.R.R Tolkien dan C.S Lewis. Keduanya memiliki tempat dalam diri saya sebagai pengagum cerita-cerita fantasi. Kedua orang ini sangat berpengaruh dalam setiap karyanya. Siapa yang tidak tahu serial The Lord Of The Ring dan Narnia, nah mereka berdua inilah orang-orang dibalik karya monumental. Lewat karya mereka kita menikmati keindahan, ketakutan, dan juga rasa takjub atas peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan ini.

Lord Of The Rings
Sebelum memasuki bagaimana asyiknya sebuah diskusi, baiknya kita berkenalan lagi dengan dua penulis besar ini. C. S Lewis dan J.R.R Tolkien.

C.S Lewis
Clive Staples Lewis (lahir di Belfast, Irlandia, 29 November 1898 – meninggal 22 November 1963 pada umur 64 tahun), lebih dikenal sebagai C.S. Lewis, adalah seorang penulis dan pakar sastra Britania Raya, dilahirkan dalam sebuah keluarga Protestan di Belfast, meskipun sebagian besar hidupnya dilewati di Inggris. Lewis dikenal karena karyanya dalam sastra abad pertengahan dan untuk apologetik Kristennya serta fiksi, khususnya seri bukunya yang berjudul The Chronicles of Narnia.

Sewaktu kecil, Lewis suka sekali akan "binatang yang berpakaian". Ia jatuh cinta pada cerita-cerita Beatrix Potter dan seringkali menulis cerita-cerita binatang dan membuat ilustrasinya. Ia dan kakaknya, Warnie, bersama-sama menciptakan dunia Boxen, yang dihuni dan dikelola oleh binatang. Lewis gemar membaca, dan karena rumah ayahnya penuh dengan buku-buku, ia merasa bahwa menemukan buku yang belum dibacanya sama mudahnya seperti menemukan sehelai rumput. Pada masa kecilnya, ia juga sangat takut terhadap laba-laba dan serangga, sehingga binatang-binatang itu sering muncul dalam mimpi-mimpinya.

C. S Lewis

J.R.R Tolkien
John Ronald Reuel Tolkien (lahir di Afrika Selatan, 3 Januari 1892 – meninggal di Oxford, Inggris, 2 September 1973 pada umur 81 tahun) adalah penulis novel asal Britania Raya yang menulis The Hobbit (1937) dan lanjutannya The Lord of the Rings (1954—1955). Ia bekerja sebagai profesor dalam Bahasa Inggris di Universitas Leeds pada 1920-1925, sebagai profesor Bahasa Anglo-Saxon di Universitas Oxford pada 1925-1945, dan bahasa Inggris dan sastra, juga di Oxford, pada 1945-1959. Ia adalah seorang Katolik Roma yang sangat saleh. Tolkien adalah sahabat karib C.S. Lewis, dan anggota Inklings, sebuah kelompok diskusi sastra, bersama-sama dengan C.S Lewis dan Owen Barfield.

Pada usia tiga tahun, Tolkien pergi ke Inggris bersama ibu dan kakaknya dalam sebuah kunjungan keluarga yang direncanakan akan lama. Namun ayahnya meninggal di Afrika Selatan karena perdarahan otak yang parah sebelum ia bisa bergabung dengan mereka. Karena itu, keluarga ini tidak mempunyai pendapatan, sehingga ibunda Tolkien membawanya untuk tinggal bersama orangtuanya di Birmingham, Inggris. Tak lama kemudian pada 1896, mereka pindah ke Sarehole, yang waktu itu merupakan desa Worcestershire, dan belakangan digabungkan dengan Birmingham.

Tolkien senang menjelajah di Sarehole Mill dan Moseley Bog serta Clent Hills dan Lickey Hills, yang belakangan mengilhami suasana buku-bukunya, selain kota-kota dan desa-desa Worcestershire seperti Bromsgrove, Alcester dan Alvechurch serta tempat-tempat seperti tanah pertanian bibinya di Bag End, nama yang kelak digunakannya dalam fiksinya. Waktu remaja, Tolkien mulai menciptakan bahasa-bahasa tersendiri, dan tertarik dengan dongeng dan cerita-cerita tentang pahlawan.
J.R.R Tolkien


Diskusi Sastra
Hal yang menarik dari kedua penulis ini saya dapatkan dari bukunya David Colbert yang berjudul The Magical Worlds of Narnia. Dalam buku penulis menuliskan fakta yang sangat menarik yakni bagaimana pengarang The Lord of the Rings, J.R.R. Tolkien memengaruhi C.S Lewis. Mereka secara intens melakukan diskusi dalam sebuah klub diskusi bernama Inklings. Inklings adalah sebuah kelompok diskusi sastra tak resmi yang memiliki kaitan dengan Universitas Oxford, Inggris, selama hampir dua dekade antara awal 1930an dan akhir 1949. Inklings terdiri dari orang-orang yang meminati sastra yang memuji nilai naratif dalam fiksi dan berniat menulis fantasi.

Setiap ada hal baru perihal topik dalam diskusi baik yang sampaikan oleh J.R.R Tolkien maupun C.S Lewis kemudian menjadi referensi untuk membikin plot atau alur dalam setiap karya mereka. Keduanya saling memberi warna atas tokoh, cerita, dan alur yang dibuat dalam karyanya masing-masing.

Di sini saya menemukan hal asyik perihal diskusi. Diskusi yang saling memberikan inspirasi satu sama lain sehingga mewarnai karya dari orang-orang terlibat dalam diskusi tersebut. Saya teringat seorang penulis di sebuah forum penulis Kompas Jawa Barat beberapa tahun yang lalu yakni Asep Salahudin yang dengan terang-terangan mengakui sangat senang mengikuti forum diskusi kemudian mengambil sari dari diskusi tersebut untuk dijadikan sumber inspirasi tulisannya.

Seperti halnya kedua penulis besar dunia, J.R.R Tolkien dan C.S Lewis, yang senang diskusi dan saling menginspirasi satu sama lain maka kita butuh menumbuhkan kembali diskusi semacam ini. Walaupun, diskusi buku dalam praktiknya banyak mendapatkan hambatan seperti perizinan, gangguan ormas, dan gangguan lainnya tapi saya yakin di tempat lain masih ada kelompok-kelompok studi yang terus menumbuhkan kegemaran belajar lewat diskusi.

The Chronicles of Narnia: Prince Caspian

Diskusi Tak Seru Kalau Tak Ada Pendebat
Iya, tidak seru jika diskusi mengalir begitu-begitu saja. Kehadiran pendebat ini menjadi menarik. Saya tak suka berdebat tapi kalau ada yang mengajak berdebat selama perdebatan itu sehat tentu dengan senang melayaninya. Nah, dari dua tokoh penulis itu lalu terselip nama Ludwig Wittgenstein dan Anscombe. Filsuf yang pernah menjadi guru sekolah dasar dan gagal. Cerita dia pernah saya tulis sebelumnya [di sini] David Colbert menuliskan salah satu murid Ludwig Wittgenstein yang bernama Elizabet Anscombe ini pernah menjadi lawan debat C.S Lewis. Sangat menarik membayangkan kesalnya seorang C.S Lewis mendapatkan perdebatan atas pemikirannya oleh Anscombe. Nah, Ansconmbe ini menggelitik saya untuk menghubungankannya dengan Ludgwig Wittgenstein.

Anscombe adalah salah seorang mahasiswinya Ludwig Wittgenstein serta seorang pemegang hak atas karya tulisnya yang melakukan pengeditan dan penerjemahan banyak buku yang diambil dari tulisan-tulisannya, terutama Philosophical Investigations (bahasa Jerman: Philosophische Untersuchungen). Artikel karya Anscombe tahun 1958, "Modern Moral Philosophy", memperkenalkan istilah "konsekuensialisme" ke dalam bahasa filsafat analitik, dan memiliki pengaruh yang kuat dalam etika kebajikan kontemporer. Monografi karyanya yang berjudul Intention umumnya diakui sebagai karyanya yang terbesar dan paling berpengaruh; daya tarik filosofis yang berkesinambungan dalam konsep-konsep intensi, tindakan, dan penalaran praktis dapat dikatakan mengambil impetus utamanya dari karya tersebut.

Nama lengkap Anscombe adalah Gertrude Elizabeth Margaret Anscombe, FBA (/ˈænskoʊm/; lahir 18 Maret 1919 – meninggal 5 Januari 2001 pada umur 81 tahun), lazim disebut G. E. M. Anscombe atau Elizabeth Anscombe, adalah seorang filsuf analitik dari Britania. Topik-topik yang ditulisnya berkisar pada filsafat budi, filsafat tindakan, logika filosofis, filsafat bahasa, dan etika. Ia juga seorang tokoh terkemuka Thomisme analitis.

Kehidupan di masa itu buat saya sangat menarik untuk dikaji. Membayangkan diskusi-diskusi yang mencerahkan semua peserta diskusi. Bisa jadi ada yang mengambil inspirasi diskusi tersebut dan menjadikan sebuah karya. Namun mungkin saja ada yang melewatkannya tetapi mengambil untuk kebajikan dalam hidupnya.

Diskusi adalah bagian dari gerakan literasi, semakin asyik berdiskusi maka semakin banyak ilmu yang bisa kita serap.

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Diskusi Dua Penulis Besar dan Seorang Pendebat"

  1. yg dikritik oleh Anscombe dari Lewis apanya ya? plot cerita? penokohan? atau filosofi cerita2 Lewis?

    BalasHapus