Kesempatan Bermain Kini Menjadi Mahal

“Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education.”
― Rudolf Steiner

Di masa kini, bermain bukan lagi barang murah yang bisa diakses banyak orang. Bermain menjadi sangat mahal dan eksklusif atau terbatas pada beberapa orang anak yang bisa bermain dengan lepas dan gembira ria. Teknologi adalah salah satu penyebab hilangnya kesempatan bermain anak-anak secara umum. Terutama untuk anak-anak yang sudah terpapar oleh teknologi sejak dini. Teknologi merenggut mereka dari kesempatan belajar yang sangat penting bagi kehidupannya.

Terlebih di saat masa pandemi Covid-19 ini, bermain benar menjadi sangat terbatas. Anak-anak seolah digiring akhirnya harus pasrah untuk menerima sumber permainan dari teknologi. Alih-alih mencari alternatif belajar lewat permainan, memberikan alat pengantar pembelajaran lewat teknologi dianggap menjadi satu-satunya cara mudah untuk belajar.

Kesempatan bermain anak-anak di perkotaan yang tersekat ruang pun demikian. Banyak taman kota yang terbatas di masa kini. Anak-anak yang biasa bermain di taman kota, sementara waktu harus ditinggalkan. Menunggu sampai saatnya diperbolehkan kembali. Efek dari ketiadaan ruang bermain ini adalah tingkat depresi yang bisa meningkat dalam diri anak (dan juga orang tua). Selama berada di depan layar televisi atau handphone atau gawai lainnya bisa membuat anak malas untuk bergerak. Ketika anak malas bergerak, maka kesempatan dia untuk mengembangkan kemampuan kehendak (will) dalam dirinya akan hilang. Kehendak yang hilang secara tidak langsung seperti mengubah manusia menjadi robot. Kehendak dari dalam dirinya dihilangkan dan ia harus menerima kehendak buatan dari luar, baik oleh konten kreator, pembuat games, atau siapa pun yang memengaruhi dirinya selama ini. Jika teknologi, ya itulah yang akan jadi sumber penggerak kehendaknya, bukan lagi kehendak murni yang datang dari spiritual world.
Mari ciptakan ruang bermain untuk mereka!

Bermain dan Belajar
Belajar dan bermain adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Jika melihat jauh ke belakang, ke masa dahulu kala bahwa dalam permainan tradisional terdapat banyak pembelajaran yang bisa diambil. Menurut Mohammad Zaini Alif dari Komunitas Hong, lewat permainan tradisional yang sederhana dan dekat dengan alam, anak-anak diberi jalan untuk mencari tahu. Permainan tradisional menjadi media untuk transfer ilmu pengetahuan hidup dari generasi lalu ke generasi yang akan datang. Terdapat 3 unsur inti pembelajaran dalam permainan tradisional yaitu ke sesama manusia, lingkungan dan Tuhan sebagai manifesto spiritualisme.

Seiring kemudian muncul sekolah yang dikembangkan oleh para pendatang ke Indonesia dengan pemilahan sekolah inlander dan sekolah pribumi, permainan tradisional pun mengalami sedikit demi sedikit penyusutan. Walaupun di beberapa daerah kegiatan permainan tradisional ini masih dilakukan oleh anak-anak sekolah saat jeda istirahat. Mereka memainkan dengan suasana yang ceria diluar pelajaran. Dari sinilah kemudian menjadi tersekat antara pelajaran dan permainan. Sekat itu yang kemudian menggiring opini terdapat perbedaan mendasar dalam belajar dan bermain.

Sejatinya jika melihat ke permainan tradisional, justru bermain itulah yang menjadi media pembelajaran. Tidak ada sekat antara belajar dan bermain. Opini yang berkembang dengan mensekat definisi bahwa belajar adalah sesuatu yang serius, statis, dan duduk di dalam kelas. Sementara bermain ada sesuatu yang tidak serius, dinamis, dan dilakukan di luar ruangan.

Inilah yang kemudian menjadikan sekolah menjadi sesuatu yang membosankan karena membatasi ruang gerak anak-anak. Padahal, kegiatan utama pada masa anak-anak adalah bermain. Mereka belajar pada saat bermain, mereka mencerna setiap pesan yang kemudian menjadi bekal ketika dia dewasa. Dalam pemikiran anak-anak bisa jadi sebenarnya pendidikan tentang rumus, matematika, sosial, dan budaya terkandung sangat dalam di setiap permainan.

Saat sekarang yang bisa dilakukan salah satunya mengubah mindset bahwa bermain itu sama dengan belajar. Demikian pula ketika belajar itu sama dengan bermain. Jika demikian terjadi saya yakin belajar bukan lagi sesuatu yang membosankan, belajar akan menjadi sangat menarik sebagaimana anak-anak bermain.

Puisi Permainan

Ada puisi yang berjudul "Puisi Permainan" yang begitu indah menggambarkan pentingnya sebuah permainan dari Romo Driyarkara yang sangat menginspirasi. Bermain dengan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan pelajaran penting.

Bermainlah dalam permainan
Tetapi jangan main-main!
Mainlah dengan sungguh-sungguh
Tetapi permainan jangan dipersungguh
Kesungguhan permainan
Terletak dalam ketidaksungguhannya
Sehingga permainan yang dipersungguh
Tidaklah sungguh lagi

Mainlah dengan eros (cinta)
Tetapi janganlah mau dipermainkan eros
Mainlah dengan agon (perjuangan)
Tetapu janganlah mau dipermainkan agon

Barangsiapa mempermainkan permainan
Akan menjadi permainan-permainan
Bermainlah untuk bahagia
Tetapi janganlah mempermainkan bahagia


Puisi ini sangatlah bagus seiring dengan pentingnya sebuah permainan untuk pembelajaran. Bermain adalah belajar dan belajar adalah bermain. Semuanya menjadi menarik saat kita menganggap semuanya adalah permainan. 

Nah, sebelum bermain menjadi sangat mahal dan terus akan tergerus oleh kepentingan lain yang ingin anak tidak berkembang menjadi manusia seutuhnya kelak, mari kita bermain kembali. Mari ciptakan ruang-ruang bermain di tempat yang bisa kita jangkau. Mulai dari rumah kita bangun keasyikan bermain bersama seluruh keluargan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kesempatan Bermain Kini Menjadi Mahal"

Posting Komentar